my lovely backpack |
Pernah ngebayangin rasanya berbulan puasa di Negara orang lain? Di Negara yang muslim nya adalah kaum minoritas? Dulu saya belum pernah dan tidak pernah terpikirkan, tapi kemarin, saya baru saja menyadari kalau ya… saya baru saja melakukannya.
Ramadhan pertama yang saya jalani di negeri orang lain, 5-15 Agustus 2011 adalah salah satu momen penting dalam kehidupan religi saya, bukan karena meningkatnya kualitas ibadah saya, tapi karena ketidakmampuan saya meningkatkannya di negara orang lain.
Tapi saya kali ini tidak akan membahas sesi religi dari perjalanan saya kali ini, melainkan saya akan lebih focus ke heroes diluar sana, yang kerap dipanggil pahlawan devisa, yang ternyata juga menjadi penolong saya kala melakukan trip ramadhan kali ini di Hongkong dan Macau.
5 Agustus 2011 (Day One)
Jumat sore, satu-satunya penerbangan internasional yang berangkat dari kota Makassar, telah dijadwalkan tiba pukul 5.30 sore, namun karena ini penerbanangan internasional, maka datanglah saya sekitar jam 2, sehabis shalat jumat, karena sudah ketentuannya untuk melakukan check-in 2-3 jam sebelumnya. Setelah melengkapi semua proses dan dokumen, saya pun memasuki ruang tunggu. Perjalanan saya kali ini agak berbeda dengan sebelumnya. Kalau di trip saya sebelumnya, saya sering menggunakan fasilitas bagasi yang dikenakan biaya sekitar 130ribu, kali ini saya memutuskan ini akan menjadi perjalanan yang hemat,selain karena ini Ramadhan (yang tidak butuh makan banyak), saya pun sedang dalam kondisi keuangan yang kurang bagus ketika trip ini tiba, hanya saja merasa rugi jika tidak memakai tiket yang telah jauh-jauh hari dibeli. Akhirnya bermodal sekitar 2juta rupiah pun saya berangkat ke Hongkong-Macau yang menjadi tujuan utama, dengan terlebih dahulu berkunjung ke Kuala Lumpur selama 3 hari dan Bangkok 1 hari.
Nah karena tidak menggunakan fasilitas bagasi berbayar itu, akhirnya tas backpack (ransel) saya yang biasanya beratnya sekitar 10kg, saya press hanya sekitar 6kg saja,dimana hanya berisikan 1 celana jeans, 4baju,dan 4jilbab serta beberapa underwear sekali pakai. Setelah menjalani penimbangan tas, karena tas saya terlihat mencurigakan dengan ukurannya yang agak besar untuk dimasukkan ke kabin, namun Alhamdulillah hanya sekitar 6,10kg, saya pun masuk ke ruang tunggu dan menanti kedatangan satu orang teman yang akan menjadi travelmate saya.
Karena kami pikir ini penerbangan internasional, maka kami tak berani membawa makanan atau minuman dari luar untuk dijadikan buka puasa (ini adalah hari puasa kelima ketika kami berangkat). Setelah menunggu, pesawat kami datang tepat waktu dan kami take off tepat pukul 5.30. Bersamaan dengan take off nya pesawat kami, sejak itulah puasa tak lagi berasa sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Buka puasa yang biasanya tiba jam 6 sore dan saya jalani di rumah atau di suatu tempat di daratan, kali ini buka puasa itu saya jalani dengan hasil dugaan orang-orang sekitar, sebab sudah pukul 7 tapi matahari belum terbenam, namun beberapa dari penumpang yang menurut saya islam, telah ada yang memulai makan, akhirnya kami pun memutuskan untuk ikut makan, sebuah popmie merk Malaysia seharga beberapa ringgit, dan sebotol kecil air minum, yang semuanya kami beli diatas pesawat.
Perjalanan membosankan 4 jam menuju Kuala Lumpur akhirnya berakhir, dan setibanya kami di bandara, tempat pertama yang kami kunjungi adalah McDonald bandara, dan makan burger beserta kentang. Dengan bekal uang sebesar USD100 dan Rp 1.350.000 yang semuanya telah berganti menjadi dollar hongkong, saya berharap tak aka nada pengeluaran lebih dalam trip kali ini.
Sebelum membeli makanan di McD, saya sempatkan menukar USD30 ke Ringgit Malaysia (sekitar 85ringgit),sebab ketika di Makassar saya bukannya tak sempat menukar, hanya saja ditempat tukar langganan saya, Ringgit lagi kosong. Akhirnya setelah sekitar 30 menit menikmati McD yang berupa burger dan kentang serta cola itu, berangkatlah kami menuju KL Sentral dengan menaiki bus seharga 8RM (Rp 24.000), sesampainya di KL Sentral 2jam kemudian, kami langsung memburu kereta terakhir yang beroperasi pada hari itu (kereta/subway/MRT hanya beroperasi sampai jam 11-12 malam di Malaysia) untuk mengunjungi salah satu rumah teman saya yang akan menjadi host kami selama di Kuala Lumpur. Malam itu setibanya di rumah teman saya,kami langsung beristirahat dengan sebelumnya meminta tolong untuk dibangunkan sahur, yang ternyata baru dimulai jam 4.30 subuh, sebab imsak di Malaysia itu sekitar jam 6 subuh, namun jangan heran dengan waktu imsak yang lama, sebab buka puasa pun baru sekitar jam 7.30 malam.
6 Agustus 2011 (Day Two)
Tempat tinggal teman saya ini, dihuni oleh 2 orang temannya yang lain, yang sesame mahasiswa dari Indonesia, jadilah kami sahur berlima dengan menu sahur ya Alhamdulillah sangat enak, telah disediakan oleh mereka sebelumnya. Agenda kami hari ini hanyalah nonton HarryPotter 3D dan jalan-jalan keliling mall di Kuala Lumpur. Bukannya tidak mau mengeksplore Kuala Lumpur, tapi ini sudah ketiga kalinya saya kesini dan travelmate saya pun, Kak Nana, sedang malas berpanas-panas ria di bulan puasa ini untuk mengeksplore, maka jadilah kami anak mall-mall yang keliling-keliling sambil menunggu film main. Harus saya akui, saya tidak merasa rugi membayar 20ringgit untuk kualitas bioskop yang luar biasa bagusnya dan belum ada tandingannya di Indonesia, seriously. Dan inilah moment nonton saya pertama kalinya di luar negeri, dank arena saya memang movie junkie, it’s exciting me too much. Agak norak memang, tapi ya itulah saya,hehehe….
Tapi sayangnya, travelmate saya, Kak Nana,harus berangkat ke bandara pukul 5 sore, sebab besok pagi pagi sekali, sekitar jam 7, pesawatnya ke Bangkok harus terbang. Ya, sejak hari inilah, perjalanan saya dan kak Nana tidak lagi bersamaan, hanya saja tujuan kami yang sama dengan jadwal penerbangan yang berbeda. Kami pun balik ke apartemen, mengambil barang-barang kak Nana, dan bersama-sama naik MRT, saya dan teman saya, Ainun dan Tamiko, dan 2 teman rumah Ainun, Cita dan Nunu, berencana berbuka di salah satu rumah makan jepang, sedangkan kak Nana turun 2 stasiun lebih jauh untuk mengambil bus ke bandara di KL sentral. Jadi, kami pun berpisah di perjalanan.
Saya akui, buka puasa kali ini memang sedikit elite buat kalangan backpacker macam saya, tapi karena saya pikir ini adalah puasa, ya saya puas-puasin saja, saya tidak mau menyiksa diri dengan pelit ke diri sendiri, tapi ajaibnya dengan makanan yang segitu banyaknya saya pesan, saya hanya bayar 30ringgit (sekitar 90rupiah), yang mungkin kalau makan di Makassar akan berates-ratus ribu. The place name Sushi Zanmai, recommended buat yang mau makan sushi hemat kala di negeri orang. Setelah buka puasa, keliling-keliling mall dan membeli sebuah stamp bermotif menara Eiffel seharga 10ringgit, for your information, saya memang tergila-gila segala hal tentang paris, khususnya Eiffel, kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang, namun ternyata ada undangan buka puasa di salah satu flat(apartemen) anak Indonesia, kenalan Ainun dkk. Akhirnya saya pun turut datang dan sekedar melihat juga ikut mendengar cerita mereka. Beberapa jam kemudian kami putuskan untuk balik dengan dibekali beberapa kantong makanan hasil pemberian penyelenggara pesta, dan kami niatkan buat dijadikan menu sahur. Tapi memang belum rejeki dank arena kecapean, taka da satupun dari kami yang bangun sahur.
7 Agustus 2011 (Day Three)
Pesawat yang akan mengangkut saya dari Kuala Lumpur ke Bangkok berangkat pukul 10 lewat, tapi jam 7 pagi saya sudah meninggalkan apartemen Ainun. Kak Nana yang pesawatnya berangkat jam 7 pagi memutuskan untuk menunggu saya setibanya di bandara Bangkok, jadi kami bias sama-sama ke penginapan di daerah Khaosan Road, yang merupakan area backpacker di Bangkok, yang juga telah diinapi oleh 3 orang teman saya yang lebih dulu tiba di Bangkok beberapa hari sebelumnya.
Setelah Changi Airport Singapore, Suvarnabhumi Airport Bangkok merupakan bandara terbaik yang pernah saya kunjungi, besar-bersih-berbudaya (banyak motif serta hal-hal berbau kebudayaan Thailand yang menghiasi bandara). Setelah perjalanan 2 jam lebih dan mengantri di imigrasi Bangkok yang supeeer ramai selama hamper 2 jam juga *serius*, saya pun akhirnya keluar dari imigrasi dan mencari sosok kak Nana, yang mungkin sudah lelah menunggu, mana saya juga tidak bisa sms karena pulsa yang habis (sekali sms habis 4.700 rupiah). Akhirnya kak Nana duluan yang melihat dan manggil saya, kami pun jalan menuju ke ground buat ambil kereta ke PhayaThai, stasiun yang berada di pusat kota. Tapi sebelumnya saya kembali menukarkan USD20, dari total sisa USD70 di kantong saya, ke dalam Baht, mata uang Thailand.
Dengan membayar seharga 90Baht (sekitar 27.000) per orang, kami pun menunggu kereta yang akan membawa kami ke pusat kota, yang ternyata sangaaat bagus dan mungkin tidak akan didapatkan kereta sebagus,sebersih,dan senyaman ini dengan harga 27.000 di Indonesia. Perjalanan yang harusnya makan berjam-jam dari bandara ke pusat kota, hanya kami tempuh sekitar 30menit dengan kereta express ini, dan ternyata jika membeli tiket return (PP bandara-phaya thai) hanya membayar 150 Baht, lebih hemat sekitar 30 Baht atau 9.000 rupiah (di Indonesia mungkin tidak begitu signifikan, tapi percayalah ketika kau hidup di negara orang lain, 1 sen pun akan menjadi sangat berharga).
Ketiga teman kami yang sudah beberapa hari di Bangkok, sekarang sedang berada di Chatuchak Market, pasar terbuka terbesar se Asia, yang menjual aneka barang bahkan hingga ke hewan peliharaan. Akhirnya, saya dan Kak Nana pun sambil menenteng backpack yang berasa agak berat, padahal hanya 6kiloaan, memutuskan untuk langsung ke Chatuchak menjumpai mereka. Sesampainya disana, saya yang tidak niat belanja, disamping karena sedang hemat, saya pun sudah merasakan betapa besarnya pasar ini ketika melakukan trip tahun lalu, dan sehemat apapun niatmu, ketika telah memasuki areanya, maka dijamin akan ada yang dibeli. Maka dari itu, saya putuskan untuk diluar saja bersama Kak Ajjank dan Kak Putchok, 2 dari 3 teman kami yang sudah berada duluan di Bangkok. Sedangkan kak Nana memutuskan untuk masuk berbelanja sekalian menyusul Kak Fitry yang diduga masih di dalam, sebab sejak terpisah dari Kak Ajjank dan kak Putchok, belum ditemukan. Saran saya, ketika mengunjungi Chatuchak bersama teman, usahakan selalu berdampingan atau paling tidak punya cukup pulsa untung saling menghubungi ketika terpisah ataupun kalau tidak, jauh lebih baik jika janjian untuk ketemu di jam tertentu di tempat yang kalian masing-masing ketahui di sekitar pasar, sebab pasar ini benar-benar luaaaasss dan resiko terpisah dari teman/keluarga sangat besar sebab pengunjungnya juga banyak sekali.
Hingga pukul 4 sore, kak Nana kembali dengan beberapa kantong belanjaan, kami putuskan untuk segera ke penginapan saja, sebab kak Fitry tak kunjung memberi kabar, jadi kami pikir pasti dia sudah ada di penginapan, dan ternyata benar. Alhamdulillah, kami masih bisa dapatkan 1 kamar kosong untuk berdua di tempat Kak Ajjank dkk menginap, dengan membayar 200 Baht/orang (sekitar 60ribu rupiah).
Setelah beristirahat, dan berbuka puasa di KFC kawasan Khaosan Road yang kali ini ditraktir oleh kak Nana *thank God*, kami putuskan untuk ke salah satu Mall di Bangkok, MBK, jika tak sempat berbelanja di Chatuchak yang hanya buka saat weekend, maka MBK patut dijadikan cadangan, karena di dalamnya, ada pusat oleh-oleh yang masih tergolong murah. Setelah puas keliling, dan menemani teman-teman berbelanja (saya kali ini lagi-lagi tidak berbelanja,karena memang niat belanjanya baru di Hongkong-Macau), kami pun kembali ke Khaosan Road dengan taksi, sama seperti ketika menuju ke sana, yang dishare biayanya. Di Khaosan kami kembali mengunjungi KFC untuk membeli persiapan sahur seharga 65 Baht (21.000 rupiah) – ayam dan nasi – serta air minum berbotol besar yang kami beli di 7Eleven, dan juga jajanan berupa mie yang saya beli seharga 20B (6.000).
Sesampainya di kamar yang lumayan menguras keringat karena berada di lantai 5, setelah berbincang sejenak, kami pun putuskan untuk kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Hari keempat trip diakhiri dengan hujan di kota Bangkok –hiruk pikuk life music di café-café yang bertebaran di bawah-serta kamar yang tidak terlalu sejuk karena kipas angina yang menua menjadi hal-hal “sempurna” yang mengiringi tidur kami. Dan keesokan harinya, saya akan kembali terbang ke Hongkong, sendirian.